Minggu, 14 September 2008

Asal Mula Baptisan Percik

Saya ingin sedikit memberi informasi mengenai asal mula baptisan percik yang saya dengar dari dosen saya di Institut Teologi Dan Keguruan Indonesia (Seminary Bethel) Petamburan, Jakarta, yaitu Pdt. Thomas Bimo, M.Th pada mata kuliah Teologi Perjanjian Baru.
Beliau mengatakan tradisi baptisan percik berawal tatkala seluruh kekaisaran Romawi harus memeluk agama Kristen, karena “sang Kaisar” Konstantin Agung telah menjadi Kristen. Kaisar Kristen berikutnya, Kaisar Theodosius bahkan di tahun 380 M, mengeluarkan “dekrit/edict Theodosius” yang isinya mengatakan bahwa “Agama kekaisaran Romawi adalah agama Kristen“.
Dampak dari keputusan kedua Kaisar Kristen tersebut, adalah Kristenisasi massal di seluruh wilayah kekaisaran Romawi (Kalau tidak menjadi Kristen, akan berhadapan dengan tentara Romawi dan dihukum). Akibat kristenisasi massal tersebut, maka terjadilah baptisan selam besar-besaran. Situasi yang seperti itu, membuat kolam-kolam dan sungai-sungai menjadi sangat sesak. Akibatnya untuk memudahkan, maka orang-orang tersebut akhirnya dipercik dgn air. Alasan “praktis” yang terjadi karena sikon yang darurat itu, kemudian dijadikan “tradisi” oleh gereja Katolik (ingat saat itu, tidak ada aliran2 gereja, hanya ada satu gereja , yaitu gereja Katolik).
Hal itulah yang membuat Baptisan Percik tidak mempunyai referensi di dalam Alkitab. Karena memang baptisan percik baru lahir dan kemudian dijadikan tradisi gereja sejak kira-kira tahun 380 M (sebagai dampak edik Kaisar Theodosius).
Selain akibat Kristenisasi terhadap penduduk kekaisaran Romawi tersebut, saya mendapat penjelasan kedua, mengenai berkembangnya tradisi baptisan percik. Dalam buku History of the Christian Church, Volume II, karangan Philip Schaff, pada halaman 181, ditulis bahwa baptisan percik mulai dilakukan gereja Katolik pada awalnya terhadap orang yang sakit (orang yang bertobat tersebut menderita sakit, sehingga tidak mungkin dilakukan baptisan selam).
Kedua alasan inilah yang menjadi awal mula dari berkembangnya tradisi baptisan percik di dalam gereja Katolik sejak tahun 380 M sampai masa reformasi (ingat waktu itu blm ada aliran Protestan). Setelah reformasi Protestan yang dimotori Martin Luther pada tahun 1517, aliran-aliran dalam gereja Protestan ada yang tetap menganut tradisi baptisan percik, namun ada juga yang kembali pada baptisan selam (baptizo) seperti yang tertulis literal di Alkitab dan juga tradisi gereja mula-mula (kira-kira tahun 30 M - 380 M).

PIKIRAN YANG TERATUR


Penemuan ilmiah paling penting mengenai pembelajaran di tahun-tahun belakangan ini berasal dari peneliti-peneliti kognitif yang telah meneliti pemahaman siswa. Dalam sebuah paradigma tipikal, seorang siswa SMP atau mahasiswa diminta untuk menjelaskan sebuah penemuan atau fenomena yang tidak dikenal siswa tersebut tetapi hal fenomena tersebut mengarahkan dirinya sendiri pada eksplorasi dalam terma sebuah konsep atau teori yang telah dipelajari. Hasilnya mengejutkan, konsisten, dan mengecilkan hati. Kebanyakan siswa termasuk yang menjadi siswa dari sekolah-sekolah terbaik kami serta memperoleh nilai-nilai yang paling tinggi tidak mampu untuk menjelaskan fenomena yang sedang diberikan pada mereka. Bahkan yang lebih diwaspadai, banyak yang memberikan jawaban yang persis sama dengan siswa yang tidak pernah mengambil pelajaran-pelajaran yang berhubungan dan telah dianggap tidak pernah menghadapi konsep-konsep yang berhubungan dengan sebuah penjelasan yang tepat. Menggunakan terminology yang akan saya perluas nanti, siswa-siswa ini mungkin telah mengakumulasikan banyak fakta atau subjek masalah pengetahuan, tetapi mereka tidak pernah belajar untuk memikirkannya dalam sebuah keadaan yang teratur.
Pertimbangkan beberapa contoh, yang dengan sengaja diambil darti beberapa kenyataan penelitian. Dalam fisika, siswa-siswa terus menerus lebih memikirkan kekuatan-kekuatan seperti gravitasi atau akselerasi seperti yang ada dalam benda atau objek tertentu, daripada mengoperasikannya pada keadaan yang pada dasarnya sama terhadap sifat keseluruhan. Diminta untuk memprediksikan yang manakah dari kedua benda yang akan jatuh lebih cepat ke tanah, siswa-siswa seperti itu lebih memperhatikan berat benda (“bata lebih berat daripada sepatu, sehingga bata tersebut akan jatuh ke tanah terlebih dahulu”), daripada memperhatikan hokum akselerasi (“semua benda beraselerasi pada velositas yang sama, dengan tidak adanya gesekkan atau friksi”). Dalam biologi, semua siswa menolak keseluruhan gagasan evolusi, atau mereka melihat evolusi sebagai sebuah proses teleology, dimana organisme sepanjang waktu diarahkan oleh sebuah tangan yang tidak terlihat menuhu pada bentuk-bentuk yang lebih sempurna. Pernah atau tidaknya mereka dihadapkan pada pencipta-pencipta gagasan-gagasan atau konsep rancangan intelijensi, gagasan seleksi alam, sebagai sebuah proses yang benar-benar tidak diarahkan, terbukti sangat bertentangan dengan cara berpikir mereka. Dalam seni, mengesampingkan tekanan pada bentuk kontemporer, siswa terus menerus menilai karya-karya seni dalam terma realisme photografisnya, dalam kasus seni-seni visual, dan dalam terma sekma-skema sajak sederhana dan masalah sentimental subjek, dalam kasus syair. Ketika diminta untuk memperhitungkan peristiwa-peristiwa kontemporer, latar belakang siswa-siswa yang dapat menyelesaikan penyebab-penyebab rumit peristiwa-peristiwa masa lalu, seperti Perang Dunia I, jatuh ke dalam penjelasan-penjelasan penyebab-penyebab umum sederhana. “ Itu terjadi karena periwa jahat tersebut” – entah apakah namanya kebetulan adalah Adolf Hitler, Fidel Castro, Muammar al-Qaddafi, Saddam Hussein, atau Osama bin Laden. Dalam psikologi, siswa-siswa yang telah belajar mengenai perluasan dimana perilaku kita benar-benar ditentukan oleh motivasi tidak sadar atau oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak dapat kita kendalikan terus menerus memperkuat kekuatan dari perantara individual yang disengaja.
Kalau anda tidak menganggap bahwa ini merupakan contoh-contoh yang telah dipisahkan, saya harus menekankan bahwa pola-pola yang baru saja dijelaskan telah diobservasi dalam waktu lama dan berulang, dalam masalah-masalah yang berkisar dari astronomi sampai zoology, dari ekologi sampai ekonomi, dan dalam masyarakat-masyarakat di seluruh dunia, Orang-orang Amerika maupun Asia atau Eropa tidaklah kebal terhadap konsepsi-konsepsi yang salah ini. Tentu saja, dalam kasus-kasus seperti evolusi biologis, siswa-siswa dapat dihadapkan dengan gagasan-gagasan kunci di sejumlah mata pelajaran dan lingkungan; lagipula ketika ditanyakan, mereka berpegang teguh pada Lamarckian (“leher seekor jerapah panjang karena orang tuanya memaksa untuk mencapai cabang yang paling tinggi”) atau tulisan dalam kitab suci (“pada hari kelima….”) memperhitungkan awal dan evolusi spesies-spesies. Jelas, dibutuhkan usaha-usaha yang cukup kuat untuk mencegah atau menghalangi siswa berpikir dalam sebuah sifat yang teratur.
Satu faktor kontribusi penting – dengan sendirinya diambil dari teori evolusi – dapat dinyatakan dengan sederhana. Umat manusia tidak berevolusi selama ribuan tahun agar bisa memiliki penjelasan-penjelasan yang kuat terhadap lingkungan-lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Tentu saja, dengan merujuk pada contoh-contoh yang baru saja disebutkan, gagasan-gagasan mengenai kekuatan-kekuatan fisika saat ini pada dasarnya diambil dari penemuan-penemuan Gallileo, Newton, dan teman-teman semasa mereka, sementara teori evolusi Charlesa Darwin menunggu perjalanan waktu lima tahun dan perenungan serta penyimpulan selama beberapa dekade (sangatlah menggugah untuk berspekulasi mengenai keadaan pengetahuan kita saat ini seandainya ketiga orang besar tersebut tidak pernah dilahirkan.) Pemahaman-pemahaman mengenai sejarah, kemanusiaan, dan seniI tidak terlalu terkait dengan waktu, tempat, dan orang-orang berpendidikan, tetapi juga tergantung pada kemunculan pemahaman yang memuaskan di sisi komunitas orang-orang yang berpendidikan selama berabad-abad. Pemahaman-pemahaman seperti itu mungkin saja tidak pernah muncul sama sekali, atau telah mengambil bentuk yang berbeda, atau dalam beberapa tahun ke depan mungkin berubah secara material. Jika seseorang menerima teorii evolusi, telah menjadi jelas bahwa keberadaan kita telah bergantung pada kemampuan-kemampuan untuk bertahan sampai reproduksi dari setiap orang leluhur kita – tidak kurang, tidak lebih.
Beralih keluar dari masalah-masalah standard pendidikan, kami menghadapi jenis ketidaksesuaian atau ketidaktepatan pemikiran yang sama di semua profesi. Sebagai contoh, diawali dengan siswa-siswa hukum, memaksa untuk mencapai sebuah keputusan yang memuaskan secara moral; cara pemikiran yang telah berurat berakar lama bertentangan dengan paksaan pengajar-pengajar mereka bahwa keputusan-keputusan harus didasarkan pada proses dan contoh, dan bukan pada kode moral seseorang. Jurnalis-jurnalis pemula menyiapkan sebuah cerita yang masuk akal, dan disusun dengan baik, seperti jika mereka ingin menarik minat pada sebuah pemirsa yang dituju. Mereka tidak mampu untuk berpikir terbalik, menulis sebuah cerita dalam sebuah cara yang akan dengan segera menarik perhatian pembaca sambil mempertahankan pensil biru editor atau keterbatasan-keterbatasan yang ketat dari cetakkan halaman depan yang baru. Pekerja yang baru saja ditunjuk untuk sebuah posisi manajerial mencoba untuk mempertahankan pertemanan yang telah terbentuk lebih dahulu seperti halnya jika tidak ada satupun yang telah berubah; pekerja tersebut tidak memahami bahwa pekerjaan baru mengharuskannya untuk lebih mendengar, didengarkan, dan dihormati, daripada bahwa pekerja tersebut memenangkan sebuah kontes popularitas atau meneruskan pertukaran gossip atau keintiman dengan teman-teman sekerja lamanya. Anggota dewan yang baru tidak bisa memahami bahwa saat ini dia harus berperilaku dalam sebuah sifat yang tidak memihak bertentangan dengan setiap CEO atau presiden yang memerintahnya berbulan-bulan dan kemudian mengundangnya untuk bergabung dengan sebuah kelompok terpilih, bergengsi.
Dalam contoh-contoh karir ini, kita menghadapi sebuah analogi proses di tempat kerja. Individu-individu membawa keyakinan-keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya berfungsi dengan baik ke dalam sebuah pekerjaan baru. Dalam kehidupan sehari-hari, remaja-remaja diberi penghargaan karena mencari sebuah solusi moral, untuk menghubungkan sebuah kisah yang menarik dengan langkahnya sendiri, untuk menjadi seorang sahabat yang tulus,. Hanya dengan menyarankan,” Mulai saat ini, beri perhatian langsung pada sesuatu yang bisa ditiru,” atau “ Lindungi dirimu sendiri dari insting editor untuk merevisi tulisan,” atau “Jagalah jarak dari teman sekerja anda dulu,” tidaklah cukup. Kebiasaan lama susah dihilangkan, dan cara-cara pemikiran dan bertindak baru jarang terbentuk secara alami. Professional yang bercita-cita tinggi sedang bergerak maju harus memahami alasan-alasan untuk gagasan-gagasan atau praktek-praktek baru ini; menghilangkan kebiasaan-kebiasaan lama, yang tidak lagi fungsional; dan secara bertahap mengkonsolidasikan sebuah bentuk perilaku yang sesuai untuk sebuah posisi baru.

PEMAHAMAN DARI MASA LALU DAN MASA KINI
 Bagi banyak latar belakang yang relatif singkat (beberapa ratus tahun), pendidikan formal telah dikarakterisasikan oleh orientasi religiusnya. Pengajar-pengajar tipikalnya merupakan anggota-anggota dari sebuah kelompok agama; tulisan-tulisan yang akan dibaca dan dikuasai adalah kitab-kitab suci; dan pelajaran-pelajaran sekolah merupakan karakter moral. Tujuan pendidikan adalah untuk mempertahankan cukupnya bacaan-bacaan sehingga seseorang dapat membaca tulisan-tulisan suci – tentu saja, di banyak kasus, lebih pada kemampuan untuk membacakan, daripada kapasitas untuk memahami atau menginterpretasikanlah yang dicukupi. Berbagai pembicaraan pemahaman lingkungan – dibiarkan menambahkan pemahaman saat ini melalui sebuah keteraturan pekerjaan yang berjalan dengan sendirinya – akan dilihat sebagai sesuatu yang eksotis. Folklor, akan sehat, sebuah kata-kata singkat dari orang yang bijaksana dianggap cukup. (Beberapa jenis pendidikan Islam masih menekankan pandangan ini.)
 Tujuh ratus tahun yang lalu, baik pada penyamaran-penyamaran orang-orang Cina maupun Eropa, seorang elit berpendidikan diharapkan untuk menguasai sejumlah bidang. Setelah menyelesaikan pendidikannya, sarjana-sarjana Konfusius dapat membedakan dirinya sendiri dalam kaligrafi, memanah, musik, syair, berkuda, partisipasi dalam ritual-ritual agama, dan penguasaan tulisan-tulisan penting. Di sisi yang berlawanan orang-orang Eropa mampu untuk memperlihatkan performa-performa trivum (tata bahasa, retorika, dan logika) seperti halnya quadrivium (musik, geometri, astronomi, dan aritmatika). Daripada diminta untuk memahami dan menerapkan, siswa-siswa yang sesuai hanya mengulangi – bahkan, seringkali mengingat secara verbatim – kebijaksanaan intelektual para pendahulu: di Timur Konfusius atau Mencius; Aristoteles atau Aquinas di Barat. Mungkin ini merupakan apa yang di bab sebelumnya, disebutkan oleh pengajar-pengajar psikologi Cina, ingatlah ketika dia dengan tidak sabar mengatakan pada saya,” kita telah melakukannya dengan cara ini begitu lama sehingga kami mengetahui kebenarannya.”
 Dulu, profesi pendidik, seperti yang kita kenal saat ini, tidaklah ada. Sampai pada perluasan dimana ada pembagian tenaga kerja, individu-individu baik mempelajari sikap mereka dari anggota-anggota keluarga yang lebih tua – keluarga Smith belajar untuk menjadi pandai besi dari pendahulu-pendahulunya – atau magang agar menjadi seorang ahli: “ Jones muda sepertinya bekerja baik dengan tangannya; dia seharusnya magang pada tukang cukur Cutter, sehingga dia bisa belajar untuk memotong dan mengkriting rambut.” Hanya biara yang menekankan mekanisme seleksi, training, dan pencapaian keanggotaan dalam bidang kependetaan, yang lebih formal.
 Zaman Renaisans memicu sebuah perubahan yang lambat namun tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam pendidikan di Barat. Sementara pola-pola religius tetap dipertahankan –dan tentu saja dilanjutkan – di banyak tempat, pendidikan menjadi lebih sekuler. Pada saat sekarang ini, kebanyakan guru tidak dilatih secara religius, tulisan-tulisan religius memainkan peran yang lebih kecil, dan penanaman moralitas lebih dianggap sebagai tugas keluarga, masyarakat, dan gereja daripada tugas keseharian dalam kelas. (Catat bahwa ketika institusi-institusi lain ini gagal, tanggung jawab pendidikan moral mengacu pada sekolah. Ini mungkin menjelaskan penekanan pendidikan karakter saat ini sebagai sejumlah tekanan – khususnya di Amerika Serikat – dengan menyertakan agama ke dalam pelajaran sekolah umum). Penghafalan lisan dan synopsis-sinopsis lisan terus menerus dihargai, tetapi ada sejumlah rekognisi bahwa semua pengetahuan berasal dari masa lalu; bahwa pengetahuan dinyatakan paling baik sebagai tentative; dan bahwa, khususnya dalam ilmu pengetahuan, teori-teori dan metode-metode yang akan dikuasai berubah sepanjang waktu.
 Di abad terakhir dan selanjutnya tersebut, pendidikan untuk profesi telah menjamur. Seseorang tidak lagi “membaca” hukum; seseorang masuk ke sekolah hukum. Pendidikan medis tidak lagi ditempatkan pada sekolah-sekolah kejuruan yang tercampur – spesialisasi-spesialisasi yang diperoleh sesudahnya bisa memakan waktu sepuluh tahun latihan formal. Hanya institusi-institusi yang sesuai yang dapat mempersalahkan (atau mencabut) semua ijin yang penting. Yang menarik, pelatihan manajer dan eksekutif-eksekutif ditempatkan pada sekolah-sekolah bisnis dan beragam program pendidikan eksekutif, dengan perusahaan yang dibiayai dengan baik menghasilkan jalur-jalur dan fasilitas-fasilitas pendidikannya sendiri. Sudah begitu banyak kita memperhitungkan sektor postersier ini sehingga kita melupakan bagaimana baru (dan controversial)-nya hal tersebut dulu. Magang dan hubungan pementor-an masih ada – tentu saja, dalam beberapa cara dan di beberapa tempat mereka tetap sama pentingnya – tetapi mereka jarang sekali dianggap sebagai sebuah pengganti pelatihan formal.
 Semua usaha-usaha pendidikan ini didedikasikan pada penguasaan pengetahuan disipliner , kebiasaan berpikir, dan pola perilaku yang tepat. Apakah siswa mempelajari pengetahuan umum di awal masa dewasa, fisika partikel di SMA, prinsip-prinsip hukum Negara di sekolah hukum, atau dasar-dasar pemasaran di sekolah bisnis, tujuannya adalah sama: untuk menghapuskan gangguan atau cara-cara berpikir yang tidak produktif, dan meletakkannya dalam cara-cara berpikir yang bermanfaat dan melakukannya menjadi tanda professional yang disiplin.



MASALAH SUBJEK VERSUS DISIPLIN
Mengapa mengesampingkan usaha-usaha yang termotivasi dengan baik, begitu banyak siswa yang terus menanamkan cara-cara pemikiran yang mengganggu dan tidak tepat? Satu alasan utama, saya yakin, adalah bahwa tidak guru maupun siswa maupun pembuat kebijakan maupun warga biasa yang menghargai dengan tepat perbedaan-perbedaan antara masalah subjek dan disiplin. Kebanyakan individu di kebanyakan sekolah atau program-program pelatihan mempelajari subjek masalah. Yaitu, seperti banyak pengajar, mereka memahami tugas mereka untuk menyatukan ingatan sejumlah besar fakta, rumus, dan figure. Dalam ilmu pengetahuan alam, mereka mengingat definisi istilah-istilah kunci, rumus untuk akselerasi, jumlah planet, atau berat atom, atau saraf-saraf muka. Dalam matematika, mereka mengingat rumus-rumus kunci aljabar dan bukti-bukti geometri. Dalam sejarah, mereka mengakumulasikan nama-nama dan tanggal-tanggal peristiwa dan jaman penting. Dalam seni, mereka mengetahui siapa yang menciptakan karya-karya seni penting dan kapan. Dalam ilmu sosial, mereka mempelajari eksperimen-eksperimen tertentu yang spesifik dan terma-terma penting istilah-istilah yang berpengaruh. Di sekolah hukum, mereka menguasai fakta kasus-kasus. Di sekolah kedokteran, mereka mengetahui nama-nama semua tulang di tubuh. Di sekolah bisnis, merek mengisi neraca dan belajar untuk menerapkan terminologi penjualan dan keuangan. Dengan dan sebagian besar mereka meneliti informasi ini: jika mereka adalah murid yang baik, dan telah belajar dengan tekun, mereka akan dilihat berhasil dalam pelajarannya. Dan, seperti yang diilustrtasikan dalam karya Alan Bennett “The Histort Boys” mereka bahkan mungkin berhasil untuk masuk ke O xford.
Disiplin-disiplin mewakili sebuah fenomena yang berbeda secara radikal. Sebuah disiplin menyatakan sebuah cara pemikiran yang berbeda mengenai lingkungan. Ilmuwan mengamati lingkungan; menghasilkan klasifikasi-klasifikasi, konsep-konsep, dan teori-teori tentatif.; merancang eksperimen-eksperimen agar dapat menguji teori-teori tentatif ini; merevisi teori-teori ini dengan merujuk pada penemuan-penemuan; dan sebagai hasilnya, diinformasikan dengan cara yang terbaru, untuk membuat observasi-observasi lanjutan, membuat kembali klasifikasi-klasifikasi; dan membuat eksperimen-eksperimen. Individu-individu yang berpikir secara ilmiah menyadari seberapa sulitnya untuk menemukan penyebab-penyebab; mereka tidak menggabungkan korelasi (A muncul sebelum B) dengan penyebab (A disebabkan B); dan mereka menyadari bahwa setiap consensus ilmiah merupakan subjek untuk dirubah, baik secara bertahap maupun secara langsung, dalam munculnya sebuah penemuan baru yang dramatis atau sebuah paradigma teoritis evolusioner.
Gambaran-gambaran ekuivalen dapat diberikan untuk disiplin-disiplin lainnya. Sebagai contoh, ahli-ahli sejarah mencoba untuk merekonstruksikan masa lalu dari potongan-potongan dan bahkan fragmen-fragmen informasi yang berlawanan, kebanyakan tertulis, tetapi secara meningkat didukung oleh grafik, film atau kesaksian lisan. Tidak seperti ilmu pengetahuan alam, sejarah merupakan sebuah tindakan imajinatif, yang mengharuskan sejarawan untuk menempatkan dirinya sendiri dalam keadaan-keadaan terpisah dan, sebagai pengaruhnya, untuk berperan sebagai partisipan. Setiap generasi harus menulis kembali sejarah, dalam terma kebutuhan-kebutuhan, pemahaman-pemahaman, dan data yang tersedia saat ini. Sarjana-sarjana literatur melanjutkan dari teks-teks tertulis yang hanya berisi sebuah kontingen hubungan dengan waktu-waktu dan peristiwa-peristiwa yang mereka coba untuk gambarkan: seperti seorang pemain drama, George Bernard Shaw dapat secara sama menulis mengenai waktunya sendiri, era Joan of Arc, dongeng-dongeng masa lalu, atau masa depan yang dibayangkan. Sarjana-sarjana literature harus mempergunakan perlengkapan-perlengkapan mereka, pemimpin diantara imajinasi-imajinasi mereka sendiri, untuk memasuki sebuah lingkungan kata-kata yang diciptakan oleh seorang pengarang (seperti Shaw) dengan tujuan memperoleh arti-arti tertentu dan mencapai pengaruh-pengaruh tertentu pada pembaca (mis., the Great Man Theory ketika dihadapkan dengan peran determinan ekonomo, demografi, atau faktor-faktor geografi). Dengan koin yang sama, sarjana-sarjana literature berbeda dalam terma perhatian relatif yang diberikan pada biografi pengarang, maksud estetikanya, genre literatur yang diterapkan, waktu histories dimana pengarang hidup, dan era sejarah atau dongeng dimana tokoh utama dikatakan tinggal.
Jangan salah paham – untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam, sejarah, literature, tentu saja segala sesuatu, seseorang membutuhkan informasi. Tetapi memotong hubungan antara satu sama lain, untuk menggarisbawahi pertanyaan-pertanyaan, untuk sebuah cara yang teratur untuk menyusun potongan informasi ini, fakta-faktanya sederhana “pengetahuan yang lembam” – dengan menggunakan frase menyedihkan dari seorang filosof Inggris Amerika Alfred North Whitehead. Tentu saja, dengan merujuk pada epistemology, tidak ada perbedaan antara ketiga pernyataan berikut:” Bumi 93 juta mil jauhnya dari matahari di sekitar tempatnya berotaasi”; “Orang Amerika Utara dan Selatan berperang dalam Civil War selama empat tahun pada tahun 1860-an”; dan “dramawan William Shakespeare menggambarkan pemimpin besar Roma Julius Caesar dalam sebuah drama dengan nama yang sama.” Mereka benar-benar merupakan proposisi-proposisi yang sebenarnya. Pernyataan-pernyataan factual ini hanya memperoleh arti dengan menempatkannya dalam konteks, secara berurutan, dari susunan system tata surya (dan bagaimana hal tersebut telah ditentukan), perjuangan mengenai perbudakan dan persatuan yang menguasai pabrik Amerika selama beberapa dekade, dan cara imajinatif secara estetis dimana satu pengarang abad-16 Inggris menciptakan kembali kepribadian yang digambarkan dalam Kehidupan Plutarch (Plutarch’s Lives).
Cara-cara pemikiran yang berbeda mengkarakterisasikan profesi-profesi yang semestinya, dalam keadaan-keadaan yang paling bahagia, dicontohkan oleh praktisi-praktisi yang berpengalam. Pendidik Lee Shulman menggambarkan “tanda pedagogi” dari setiap profesi. Dalam hukum, guru berhubungan dalam sebuah dialog Socratic dengan siswa; setiap saat seorang siswa memunculkan sebuah solusi yang memungkinkan terhadap sebuah kasus, pengajar menarik sebuah contoh yang berlawan, sampai di kebanyakan kasus, siswa menyerah dalam kebingungan. Di sekolah kedokteran, siswa ditemani oleh seorang dokter senir di sekitarnya, mengamati data tertulis dari setiap pasien sepertihalnya saat interaksi, dan berusaha untuk menghasilkan sebuah diagnosis maupun sebuah pelaksanaan perawatan yang direkomendasikan. Dalam sekolah design, siswa duduk di area kerja, dengan sebuah model fisik atau model digital di sebuah layar computer; mereka bekerja bersama untuk menghasilkan sebuah rancangan, dan pengajar berkeliling di antara mereka, membuat dukungan singkat atau melontarkan kritik. Dalam sekolah bisnis, siswa masuk ke dalam kelas siap untuk membahas sebuah kasus dari berbagai segi, menyadari bahwa informasi tidak selalu tidak lengkap, meskipun demikian mereka harus merekomendasikan pelaksanaan tindakan, satu mungkin mengarah pada pelepasan, kemakmuran, atau kehancuran sebuah divisi atau bahkan keseluruhan sebuah perusahaan. Tidak satu pun pertemuan pedagogi ini menangkap fidelitas sepenuhnya apa yang mungkin terjadi atas dasar keseharian setelah siswa menjadi seorang professional, tetapi pengalaman-pengalaman ini dianggap menyatakan persiapan yang paling memungkinkan untuk bekerja. Tidak diragukan, sebuah peningkatan proporsi pendidikan ini akan terbawa ke masa depan melalui simulasi atau kenyataan-kenyataan virtual lainnya.
Tanda pedagogi-pedagogi memperlihatkan bahwa kehidupan profesional tidak sama dengan kehidupan seorang siswa. Agar pedagogi-pedagogi ini efektif, baik siswa maupun pengajar harus bekerja pada sebuat tingkat yang cukup berbeda dari apa yang secara tipikal menyertakan masa-masa sebelum pendidikan professional. Yaitu, siswa harus melihat informasi bukan sebagai sesuatu yang akan berakhir dengan sendirinya atau sebagai sebuah batu loncatan terhadap jenis-jenis informasi yang lebih tinggi (“Saya mengambil Aljabar I untuk menyiapkan Aljabar II”), tetapi lebih sebagai sebuah maksud terhadap praktek yang diinformasikan dengan lebih baik. Untuk sisi yang berlawanan, pengajar – sampai pada beberapa perluasan bertindak sebagai pelatih – harus memberikan umpan balik pada kemampuan-kemampuan siswa mereka untuk mengambil kebiasaan berpikir dan berperilaku yang berbeda dari seorang professional. Sampai perluasan tersebut bahwa pemeriksaan atau umpan balik dipusatkan pada informasi factual, siswa mungkin akan dipersiapkan dengan baik untuk menjadi seorang professor bidang tertentu, tetapi bukan seorang professional yang sedang berlatih.
Dalam buku ini, saya mengatakan sedikit mengenai keahlian-keahlian atau sikap-sikap tradisional. Saya akan menekankan, walaupun, bahwa masing-masing hal ini – menyusun potongan-potongan untuk memperbaik sirkuit-sirkuit elektris – setidaknya menyertai pada satu disiplin. Sampai pada perluasan dimana layanan atau sentuhan pribadi akan terus menerus dihargai, disiplin-displin ini akan memberikan sebuah mata pencaharian yang baik bagi mereka yang telah menguasainya. Tetapi fokus saya di sini terutama jauth pada disiplin-disiplin pendidikan yang seharusnya diperoleh seorang di akhir masa dewasa, dan satu disiplin professional atau lebihi dibutuhkan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif dalam masyarakat.

BAGAIMANA MENDISIPLINKAN SEBUAH PEMIKIRAN
 Selama bertahun-tahun pengajar memiliki cara-cara kebiasaan untuk menyampaikan ilmu pada pikiran-pikiran pemuda. Tentu saja, dengan tidak ada cara lain kita terus memiliki sebuah persediaan ilmuwan-ilmuwan, ahli-ahli matematika, seniman-seniman, ahli-ahli sejarah, kritikus-kritikus, pengacara-pengacara, eksekutif-eksekutif, manajer-manajer, dan macam-macam sarjana dan profesional-profesional yang tetap. Pelatihan orang-orang yang berdisiplin mengambil tempat melalui identifikasi yang sama dari minat-minat dan bakat (“ anda memiliki talenta untuk menjadi seorang ilmuwan/sejarawan/kritikus sastra/pengacara/insinyur/eksekutif”); pembuatan model cara-cara berpikir (“beginilah bagaimana kita akan membuktikan sebuah teorema dengan bentuk seperti ini”); penyelesaian yang berhasil dari tugas-tugas tanda tertentu (“itu merupakan analisis Soneta 23 yang baik; sekarang kita akan melihat apakah anda dapat melakukan sebuah analogi interpretasi dari Soneta 36”); pengawasan waktu, umpan balik yang berguna di usaha-usaha pendisiplinan terdahulu (“anda melakukan sebuah pekerjaan yang cukup baik dalam menganalisa data tersebut, tetapi lain kali, berpikirlah melalui kekhususan kondisi-kondisi control dengan lebih hati-hati sebelum anda memulai eksperimen” – atau, dalam kasus sekolah bisnis,” sadari bahwa data mungkin berbentuk pesan sehingga membuat manajer tertentu terlihat baik”); dan memberikannya melalui lingkaran yang berurutan en route untuk menjadi seorang penguasa suatu disiplin (“sekarang anda telah belajar bagaimana menuliskan awal yang baik untuk suatu cerita; pekerjaan berikutnya adalah untuk menyusun paragraph sehingga poin-poin yang penting tetap ada, bahkan jika cerita tersebut dipotong setengahnya”).
 Tetapi kebanyakan orang-orang yang masih muda tidak akan memasuki peringkat satu disiplin yang spesifik. Dan begitu para pengajar menghadapi sebuah pilihan: tidak mengajarkan disiplin sama sekali; memperkenalkan mereka pada fakta-fakta subjek dan membiarkan mereka berjuang sendiri; atau setidaknya berusah untuk memberikan mereka sebuah cita rasa – sebuah “pengalaman ambang” dalam istilah David Perkins – dari seperti apakah berpikir dalam sebuah sifat yang teratur.
 Saya yakin penting bagi individu-individu di masa depan untuk mampu berpikir dalam cara-cara yang mengkarakterisasikan disiplin-disiplin utama. Pada tingkat pra perguruan tinggi, daftar singkat saya termasuk ilmu pengetahuan alam, matematika, sejarah, dan setidaknya satu bentuk seni (seperti menggambar bentuk, memainkan sebuah alat musik, atau menulis sebuah naskah drama). Saya memilih disiplin-disiplin tersebut karena mereka merupakan gerbang: suatu ilmu pengetahuan memperkenalkan metode yang dipergunakan dalam beberapa; suatu pelajaran sejarah membuka gerbang pada sebuah rangkaian ilmu sosial; suatu seni membentuk kemudahan pintu masuk dalam seni yang lain. Seandainya mereka kekurangan ketajaman disipliner seperti itu, siswa akan benar-benar tergantung pada yang lainnya ketika mereka mencoba untuk menyusun pandangan mengenai pilihan-pilihan medis mereka, keadaan politik, karya-karya baru dalam seni, prospek-prospek ekonomi, membesarkan anak, scenario-skenario yang memungkinkan di masa depan, ada diantara banyak topik lainnya. Bentuk-bentuk pemikiran ini akan melayani siswa dengan baik, apapun profesi yang pada akhirnya mereka geluti. Dengan tidak adanya bentuk-bentuk pemikiran ini, individu-individu yang tidak disiplin bahkan mungkin tidak mampu mengetahui orang-orang atau gagasan-gagasan manakah yang merupakan penuntun, informan-informan, pemimpin-pemimpin pendapat yang reliable. Dengan demikian mereka dengan mudah menjadi mainan bagi dokter-dokter dan pemimpin-pemimpin palsu. Penguasaan kemampuan-kemampuan dasar diperlukan tetapi bukan merupakan prasyarat yang cukup. Pengetahuan akan fakta-fakta merupakan sebuah ornament yang berguna tetapi secara fundamental merupakan sebuah pelaksanaan yang berbeda daripada pemikiran dalam sebuah disiplin.
 Tentu saja, setelah seseorang memasuki universitas, sebuah sekolah tinggi, atau tempat kerja, profesi yang diinginkan menentukan disiplin, subdisiplin, atau sekumpulan disiplin yang berhubungan. Matematika, mekanika, dan manajemen masing-masing membentuk disiplin-disiplin yang spesifik. Fakta-fakta dan figure-figur merupakan ornamen-ornamen yang diinginkan, tetapi struktur dan proses disiplin merupakan pohon Natyal dimana ornamen-ornamen tersebut harus digantung.
 Bagaimana mencapai sebuah pemikiran yang teratur? Apapun yang dimiliki seseorang dalam pemikiran disipln sejarah, hukum, atau manajemen, empat langkah di bawah ini penting:
1. Identifikasi topik-topik atau konsep-konsep yang benar-benar penting dalam disiplin. Beberapa dari hal ini akan berisi – sebagai contoh, sifat gravitasi, komponen sebuah perang saudara, munculnya sebuah novel, kode hukum keadaan seseorang, hukum permintaan dan penawaran. Beberapa dari hal ini akan merupakan metodologi: bagaimana untuk menyusun sebuah eksperimen ilmiah; bagaimana untuk memahami awal, keotentikan sebuah dokumen dari masa lalu; bagaimana untuk menganalisa sebuah sonata dari jaman Shakespeare, sebuah bentuk sonata, sebuah triptych abad pertengahan, sebuah keputusan terbaru dari Mahkamah Agung Amerika Serikat, sebuah neraca.
2. Habiskan jumlah waktu yang cukupp pada topik ini. Jika berharga untuk dipelajari, maka berharga mempelajarinya lebih mendalam, dalam sebuah periode waktu yang signifikan, menggunakan beragam contoh, dan mode-mode analisis.
3. Dekati topik dalam sejumlah cara. Disinilah dimana sebuah pendidikan terhadap pemahaman yang teratur mengambil keuntungan dari beragam cara yang dipakai individu-individu untuk belajar. Berbagai pelajaran lebih memungkinkan untuk dipahami jika pelajaran tersebut telah diketahui melalui berbagai sudut pandang yang berbeda: hal ini bisa termasuk cerita-cerita, eksposisi-eksposisi logis, perdebatan, dialog, humor, role play, penggambaran, presentasi video atau film, melengkapi pelajaran dengan pertanyaan-pertanyaan dalam gagasan-gagasan, perilaku-perilaku, dan sikap-sikap seseorang yang dihormati. Tidak harus mengatakan hal bahwa setiap topik seharusnya diajarkan dalam tiga atau tigapuluh cara resmi – tetapi lebih kepada bahwa berbagai topik yang layak di pelajari terbuka terhadap sebuah pluralitas pendekatan.
Dengan cara tersebut, di sini, merupakan satu jenis pemikiran – pemikiran yang teratur – memenuhi teori intelijensi ganda saya. Sementara sebuah disiplin khusus mungkin memprioritaskan satu jenis kepandaian daripada kepandaian lainnya, sebuah pedagogi yang baik tidak diragukan lagi akan dihasilkan dari beberapa kepandaian dalam menanamkan konsep-konsep atau proses-proses penting. Pelajaran arsitektur mungkin menyoroti kepandaian spasial, tetapi seorang pengajar rancangan arsitektur yang efektif mungkin akan menggaris bawahi dan mempergunakan perspektif-perspektif interpersonal, naturalis, dan logis.
Sejumlah titik awal mencapai dua tujuan penting. Pertama-tama, pengajar menjangkau lebih banyak siswa, karena beberapa belajar lebih baik melalui cerita, yang lain melalui perdebatan, karya-karya seni, atau identifikasi dfengan seorang praktisi yang berpengalaman. Kedua, sebuah pendekatan seperti itu memperlihatkan seperti apakah pemahaman yang murni. Berbagai individu dengan sebuah pemahaman yang mendalam terhadap sebuah topic atau metode dapat berpikir mengenainya dalam beragam cara. Kebalikannya, seorang individu memperlihatkan keterbatasannya pada saat ini ketika dia hanya dapat mengkonseptualisasikan topiknya dalam sebuah cara. Seseorang tidak dapat didisiplinkan melalui kerapuhan konseptual seperti itu. Seperti yang akan saya bahas di bab berikutnya, cara-cara ganda pemikiran mengenai sebuah topik juga penting untuk mensintesiskan dan menciptakan pemikiran-pemikiran.
4. Yang paling penting, menyusun “performa-performa pemahaman” dan memberikan siswa kesempatan-kesempatan yang luas untuk mempraktekkan pemahaman mereka di bawah beragam kondisi. Kita biasanya menganggap pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dalam pikiran atau otak – dan tentu saja, dalam sebuah pemahaman literal, hal tersebut memang benar. Lagipula tidak guru maupun siswa, tidak pemula maupun orang yang sudah menguasai, dapat memastikan bahwa pemahaman asli, dibiarkan kokoh dengan sendirinya, terkecuali siswa tersebut mampu untuk memobilisasikan pemahaman yang diduga secara publik untuk menghilangkan beberapa contoh-contoh yang pada saat ini tidak dikenal. Baik siswa maupun pengajar harus berusaha untuk melaksanakan pemahaman mereka saat ini; kebanyakan pelatihan seharusnya terdiri dari latihan-latihan formatif, dengan umpan balik terperinci pada dimana performa tersebut sesuai, dimana performa tersebut kurang, mengapa performa tersebut kurang, dan apa yang bisa dilakukan untuk menyesuaikan performa.
Mengapa membahas mengenai performa-performa pemahaman? Selama kita memeriksa individu-individu hanya pada masalah-masalah dimana mereka telah dihadapkan, kita tidak bisa memastikan apakah mereka benar-benar mengerti. Mereka mungkin telah mengerti, tetapi hal tersebut sama seperti halnya mereka bergantung pada sebuah ingatan yang baik. Satu-satunya cara yang reliable untuk menentukan apakah pemahaman benar-benar telah dicapai adalah dengan mengajukan sebuah pertanyaan atau teka teki baru – sesuatu dimana individu-individu tidak mungkin telah peroleh – dan untuk melihat apakah mereka menguasai. Memahami keadaan sebuah perang saudara tidak harus berarti mengetahui tanggal-tanggal di abad-19 pada perjuangan orang Amerika atau abad- 20 pada perjuangan orang Spanyol; hal tersebut berarti menilai apakah perang Vietnam di tahun 1960-an atau konflik Rwanda di tahun 1990-an seharusnya dianggap contoh-contoh perang saudara, dan jika tidak, mengapa. Mengetahui bagaimana berperilaku dalam sebuah krisis bisnis tidak berarti menyatakan apa yang telah dilakukan General Motors 50 tahun yang lalu; hal tersebut berarti memiliki sebuah konseptualisasi dan prosedur di tempatnya sehingga seseorang dapat bertindak secara tepat dalam kasus semburan penyakit konsumen yang tiba-tiba diantara pelanggan-pelanggan suatu produk atau sebuah penurunan keuntungan yang tidak diharapkan. Ketika kritik-kritik mengejek sekolah-sekolah bisnis menjadi terlalu akademis, mereka biasanya bermaksud bahwa penggunaan-penggunaan utama pengetahuan yang diberikan bukan merupakan bukti; siswa-siswa tidak dipaksa untuk menggambarkan atau menjelaskan tulisan atau pelajaran mereka – atau pembahasan – pengetahuan yang diperoleh. Di sini, secara singkat, adalah mengapa kebanyakan pengukuran-pengukuran pembelajaran yang telah distandarisasi sedikit sekali dipergunakan; mereka tidak mengungkap apakah siswa dapat benar-benar menggunakan bahan-bahan kelas – masalah subjek – setelah siswa tersebut melangkah keluar ruangan. Dan di sinilah mengapa pelatihan tradisional dalam kerajinan membutuhkan sebuah penguasaan puncak sebelum pengrajin dapat naik ke tingkat ahli.
Agar yakin, seseorang dapat pergi terlalu jauh dalam memperoleh performa pemahaman. Saya memiliki sedikit simpati dengan teknik-teknik wawancara pekerjaan yang umum pada saat ini, dimana kandidat-kandidat diminta untuk memberikan respon-respon kreatif secara tidak terduga dalam kondisi stress. Terkecuali pekerjaan aktual yang dikehendaki meminta karyawan untuk memberikan sepuluh trademark dalam dua menit, atau mencari tahu bagaimana menyalakan sebuah bola lampu hanya dengan menggunakan sebuah batere dan sebuah kabel. Performa-performa seperti itu lebih memungkinkan untuk menyaring kelancaran daripada untuk mengidentifikasi disiplin secara mendalam atau apa yang benar-benar kreatif.
 Pada akhirnya, kita sampai pada penjelasan untuk contoh-contoh mengejutkan yang diberikan di awal bab. Siswa mungkin berhasil pada aitem yang telah mereka hadapi sebelumnya; mereka gagal ketika diminta untuk memberikan contoh-contoh yang tidak diperoleh sebelumnya, jadi sama dengan, dalam buku panduan atau tugas pekerjaan rumah. Dan dengan demikian, menghalangi pengungkapan contoh-contoh ini dalam pikiran, kami meminta siswa-siswa fisika untuk memprediksikan apa yang akan terjadi dengan objek-objek familiar ketika pada awalnya mereka diterbangkan ke luar angkasa dan dalam periode waktu tertentu; atau ketika kami meminta siswa-siswa sejarah untuk menulis apa yang mungkin menjadi masalah yang menimbulkan perang saudara di Chechnya atau untuk menjelaskan alasan-alasan yang membangkitkan sebuah serangan teroris baru-baru ini; atau kami meminta siswa-siswa sastra untuk menganalisa syair-syair yang baru penyair-penyair terpilih atau untuk mengkritik sebuah drama mengenai Anthony dan Cleopatra yang baru saja ditulis; atau kami meminta siswa-siswa kedokteran untuk menyusun sebuah tindakan perawatan untuk sebuah jenis flu yang baru saja ditemukan; atau kita meminta mereka yang mendaftar di sekolah bisnis untuk merekomendasikan sebuah pelaksanaan tindakan pada sebuah maskapai yang baru saja diambil alih yang telah secara tiba-tiba terancam oleh sebuah kemungkinan pemogokan yang mengganggu. Tidaklah harus bagi siswa untuk merespon tantangan-tantangan ini dalam sebuah sifat seorang pengikut disiplin yang berbeda – dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan bentuk tersebut. Tetapi jika respon-respon mereka secara mendasar tidak dapat dipisahkan dari individu-individu yang belum pernah mempelajari topik-topik yang diajukan – tentu saja, jika, cara dimana mereka mendekati suatu masalah memperlihatkan sedikit metode atau tanpa metode disipliner – maka kemudian kita menghadapi kemungkinan yang tidak nyaman bahwa pengetahuan factual mungkin telah meningkat tanpa sebuah peningkatan korelatif dalam disipliner yang memuaskan.
 Tidak adanya masalah-masalah pemikiran disipliner. Pemutusan cara-cara pemikiran yang memuaskan ini, individu-individu pada dasarnya tetap belum berpendidikan – tidak ada bedanya, tentu saja, dari individu-individu yang tidak berpendidikan – pada bagaimana mereka memikirkan lingkungan fisik, lingkungan biologis, lingkungan umat manusia, lingkungan kreasi-kreasi imajinatif, lingkungan ekonomi. Mereka tidak diuntungkan dari kemajuan asli yang dicapai oleh individu-individu yang telah mempelajarinya beberapa ratus tahun yang lalu; walaupun mereka mungkin mengenakan pakaian olahraga yang trendi dan menggunakan bahasa yang up-yo-date, siswa-siswa yang tidak disiplin pada dasarnya tertahan dalam posisi intelektual yang sama seperti orang-orang barbar. Mereka tidak bisa memahami apa yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa saat ini, penemuan-penemuan ilmiah atau bentuk-bentuk teknologi baru, tekhnik-teknik matematika baru, karya-karya seni baru, bentuk-bentuk finansial yang baru, peraturan-peraturan lingkungan yang baru; setelah ityu, mereka akan tidak mampu memiliki pendapat-pendapat terbaru mengenai peristiwa-peristiwa pada sekarang, tahun, abad ini. Mereka merasa terasing dan bodoh – atau, sama buruknya, mereka merasa ditolak, antagonis, bahkan terancam, bertolak belakang dengan mereka yang sepertinya mampu untuk melaksanakan pemahaman mereka dalam sebuah keadaan yang teratur.
 Tetapi, anda mungkin menjawab, individu-individu memperoleh keuntungan dari pemahaman disipliner masih dapat mengikuti kehidupan sehari-hari dan membuat sebuah kehidupan yang layak, bahkan mungkin spektakuler – dan saya tidak akan mengabaikan kemungkinan ini. (Saya juga membaca majalah-majalah selebriti – walaupun, seperti anda, hanya di pintu keluar supermarket.). Lalu, saya akan menambahkan, maka kemudian orang-orang seperti itu benar-benar tergantung pada yang lain ketika mereka harus membuat keputusan-keputusan mengenai kesehatan atau kesejahteraannya sendiri atau untuk memutuskan pada masalah-masalah penting untuk kehidupan mereka. Terlebih, makin sedikit pekerjaan dimana seseorang dapat maju paling tidak tanpa beberapa pemikiran dalam ilmu pengetahuan alam, matematika, professional, komersial, dan/atau humanistik yang memuaskan. Disiplin-disiplin keilmuann membuat anda bisa bertahan di tempat kerja.
 Jawaban lainnya: pemikiran disipliner keseluruhannya baik dan benar, tetapi – dengan tidak adanya fakta-fakta, gambar-gambar, atau jenis-jenis informasi lainnya – seseorang tidak benar-benar dapat menggunakannya. Respon ini juga mengandung beberapa kebenaran: kita memang harus mengetahui beberapa hal, dan kita dengan tepat menghormati individu-individu yang memiliki banyak pengetahuan terhadap keadaan mental mereka. Tetapi dua pertimbangan yang lebih penting menguasai segunung fakta. Pertama, pada mesin-mesin pencari saat ini, ensiklopedia virtual dan fisik yang ada dimana-mana, dan meningkatnya penguasaan computer-komputer yang kuat, hampir semuanya membutuhkan atau menginginkan informasi yang dapat ditelusuri hampir secara instant. Tepat seperti buku membuat sebuah gambaran ingatan kemewahan, computer-komputer saat ini merujuk pada memorisasi yang diperkuat bahkan ingatan yang kurang penting. Dan jika seseorang yakin bahwa hal tersebut diinginkan untuk mengingat pembicaraan-pembicaraan atau puisi-puisi atau melodi-melodi, latihan seperti itu dapat dilakukan dengan sendirinya (“hal tersebut indah, hal tersebut memuaskan”), dan tidak bagi keinginan ungkapan tujuan –o’- untuk meningkatkan kapasitas mnemonik umum.
 Kedua, dalam tindakan memperoleh sebuah pendekatan yang teratur untuk topik-topik lanjutan, individu tentu saja akan mengambil informasi yang berguna: posisi relative dan jarah dari planet-planet lain, bentuk-bentuk dan peristiwa-peristiwa penting dari sebuah perang saudara, perangkat literature yang dipergunakan oleh Shakespeare atau Pirandello untuk menciptakan karakter-karakter yang kuat dan ketegangan-ketegangan dramatis, bagan-bagan organisasional perusahaan-perusahaan besar dan identitas orang-orang yang memilikinya. Terlebih, “pengetahuan inti” atau “literature cultural” ini akan lebih ditekankan dan lebih fleksibel karena telah diperoleh dalam sebuah konteks yang berarti; tidak hanya merupakan bagian dari sebuah rezim yang menerapkan daftar orang lain untuk diingat.
 Pada akhirnya ada sebuah alasan yang jauh lebih penting untuk pemahaman disipliner. Yaitu karena, seperti kebanyakan pengalaman-pengalaman kehidupan yang paling penting (dari orgasme sampai philantropi), pencapaiannya melahirkan sebuah kebutuhan akan sesuatu yang lebih. Setelah seseorang telah memahami sebuah drama tertentu, sebuah perang tertentu, sebuah konsep fisika atau biologi, atau manajerial tertentu, dan cita rasa yang telah diasah untuk pemahaman tambahan dan lebih dalam, dan untuk performa-performa singkat dimana pemahaman seseorang dapat diperlihatkan pada orang lain dan diri sendiri. Tentu saja, orang-orang yang memahami di masa depan tidak mungkin akan menerima pemahaman-pemahaman yang dangkal. Tetapi, setelah makan dari pohon pemahaman, dia lebih cenderung untuk kembali kesana berulanghkali untuk kebutuhan intelektual yang lebih memuaskan.
 Dalam menekankan kepentingan – indispensabilitas – pemikiran disipliner, saya telah mengambil contoh-contoh dari siswa-siswa pra perguruan tinggi atau pendidikan seni-seni liberal. Dan tentu saja, ada tempat-tempat yang sesuai untuk penguasaan awal cara-cara pemikiran ilmiah, matematis, sejarah, dan seni. Saya menghargai fakta bahwa, dalam membuat keputusan untuk masuk perguruan tinggi, banyak sekolah-sekolah professional memberikan beban yang lebih besar untuk berhasil dalam jalur-jalur disipliner ini daripada yang mereka lakukan untuk pelajaran mahasiswa pra hukum, pra kedokteran, pra bisnis, atau prabisnis. Lagipula, tujuan sekolah professional adalah untuk melatih anda dalam profesi-profesi tertentu, dan persiapan yang paling baik adalah salah satu dimana pikiran seseorang menjadi teratur dalam cara-cara pemikiran utama sarjana.
 Ketika seseorang beralih ke pelatihan professional – baik di perguruan tinggi (seperti di hukum atau pengobatan) atau pada tingkat magang yang lebih tinggi (seperti yang terjadu di banyak konsultan-konsultan, penerbitan buku, atau jurnalisme) – aksen disipliner berubah. Pembelajaran yang tidak terlalu jauh dari didekontekstualisasi – tes-tes yang tidak terlalu jauh hanya didasarkan pada bacaan dan pembelajaran: seseorang dilemparkan secara keras atau dengan kasar ke dalam sebuah lingkungan yang lebih mendekati lingkungan praktek. Kita mungkin menyatakan bahwa saat ini fokusnya berada pada disiplin dalam tindakan. Tidaklah membantu hanya memahami bahwa pengacara, insinyur, atau manajer berpikir dengan cara yang berbeda; ditempatkan di sepatu pengacara, insinyur, atau manajer, seseorang juga harus bertindak secara berbeda. Pemikiran dan tindakan lebih bertalian erat daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Mereka-mereka yang tidak mampu untuk memperoleh praktek-praktek yang berbeda, atau, dalam frase Donald Schon, untuk menjadi “praktisi-praktisi reflektif,” seharusnya diberi nasihat keluar dari profesi – atau jika saya diijinkan sebuah lelucon, seharusnya didorong untuk menjadi professor-profesor.
 Mungkin di suatu saat, seseorang mungkin memperoleh ijin profesionalnya dan kemudian membayar kemenangan-kemenangannya untuk 30 atau bahkan 50 tahun. Saya mengetahui tidak ada karir – dari manajer sampai menteri – dimana karakterisasi ini masih diterapkan. Tentu saja, makin penting profesi yang akan dipertimbangkan, makin tinggi posisi yang ditempati individu dalam profesi tersebut, makin penting bagi seseorang untuk melanjutkan pendidikan, disetujui secara luas. Terkadang pembelajaran dalam jangka panjang muncul dalam pembelajaran-pembelajaran formal; yang lebih sering, dalam seminar-seminar informal, retreat-retreat eksekutif, percakapan-percakapan tingkat tinggi, dan cerita-cerita perang, bahkan dalam buku-buku bacaan seperti buku ini. Sampai beberapa perluasan, pelatihan disipliner melibatkan pemberian kemampuan-kemampuan baru – sebagai contoh, salah satunya dihubungkan dengan inovasi teknologi atau financial; tetapi paling tidak yang sama pentingnya adalah tingkat pemahaman yang baru dan lebih tinggi dalam disiplin-disiplin seperti yang telah dinyatakan sejak dahulu. Dengan demikian, sarjana-sarjana pada akhirnya memahami beragam cara-cara dimana pengetahuin baru dikembangkan dan dipropagandakan; eksekutif pada akhirnya memahami kapasitas manajerial mana yang dibutuhkan untuk tugas-tugas tertentu, yang jauh lebih generic, bagaimana kepemimpinan harus disesuaikan untuk merubah kondisi-kondisi dalam media atau pasar. Seseorang dapat berusaha untuk mengajarkan gagasan-gagasan ini dalam sekolah-sekolah professional, tetapi untuk kebanyakan bagian mereka tidak akan bisa dipahami dengan baik. Kita mungkin berkata bahwa hal ini menyatakan kurikulum disipliner untuk kehidupan nantinya.

JENIS-JENIS DISIPLIN LAINNYA
 Hal itu membawa kita pada pemahaman disiplin yang sama pentingnya. Seorang individu didisiplinkan sampai pada perluasan bahwa dia telah memperoleh kebiasaan yang membuatnya bisa memperoleh kemajuan yang tetap dan mendasar serta tidak berakhir dalam penguasaan sebuah kemampuan, keahlian atau kerangka pengetahuan. Dengan anak-anak muda, kami cenderung untuk memikirkan disiplin dengan merujuk pada atletik dan seni. Seorang anak yang dalam pemahaman tersebut kembali ke lapangan basket atau tennis setiap hari serta melatih gerakkannya; atau, untuk beralih ke seni, seperti seorang anak berusaha dengan teratur untuk meningkatkan permainan biolanya atau kaligrafinya atau gerakkan tari baletnya. Bagaimanapun, sebuah konotasi yang sama pentingnya dari disiplin muncul dalam sebuah konteks skolastik. Disiplin utama siswa dalam hal tersebut adalah melatih membaca atau menjumlah atau menulis setiap hari (OK – dia dapat memilih libur hari Minggu!); siswa menengah mengerjakan latihan-latihan laboratorium ilmiahnya dengan sungguh-sungguh, geometrinya meningkat, atau analisis tertulis dan dokumen grafisnya diambil dari sejarah. Sebagai seorang anak, saya melatih keyboard piano setiap sore; sekarang denfgan keteraturan tetap yang sama, saya merujuk pada keyboard komputer setiap sore. Apakah bentuk-bentuk disiplin tersebut dihubungkan secara integral tetap controversial: mengesampingkan harapan-harapan tua, pedagogi-pedagogi, dan beberapa psikolog, individu-individu dapat cukup disiplin dalam satu lapisan dan cukup aneh pada yang lain.
 Penulis-penulis awal mengenai pendidikan ditekankan pada pentingnya latihan, belajar, praktek dan penguasaan sehari-hari. Tidak seperti pemahaman disipliner yang telah dijelaskan lebih dulu, jenis disiplin ini harus berjuang dengan keras untuk memperoleh tempat di sekolah-sekolah. Tentu saja, terkadang sepertinya terlihat jika pengamat-pengamat menilai bentuk ini demi dirinya sendiri. Pengamat-pengamat seperti ini membutuhkan lebih banyak pekerjaan rumah bahkan ketika bukti mengindikasikan bahwa hal tersebut hanya memberi sedikit kebaikan atau tidak ada kebaikan dalam tahun-tahun utama; mereka menilai anak yang duduk dengan tertib di mejanya di rumah dan mengacak-ngacak rambutnya ketika seorang anak menyalakan televise atau CD, atau menolak untuk mengeluarkan buku sampai sore (atau pagi-pagi sekali) sebelum ujian akhir.
 Di masa depan, kita membutuhkan lebih sedikit kebiasaan, bentuk disiplin yang diinternalisasikan secara lebih mendalam. Sebuah individu yang berdisiplin seperti itu terus menerus belajar, bukan karena mereka telah diprogram untuk menghabiskan dua jam semalam membaca buku. Tetapi, siswa tersebut terus menerus belajar, mengembangkan pemahaman disiplinernya, karena dua alasan lainnya: (1) siswa tersebut menyadari bahwa, akumulasi data, pengetahuan, dan metode yang baru diberikan, dia harus menjadi seorang siswa dalam waktu lama; (2) pada akhirnya dia harus menikmatinya – tentu saja, dia telah menjadi bergairah tentang – proses pembelajaran mengenai lingkungan. Motivasi ini seharusnya muncul dengan cara yang sama pada eksekutif yang menemukan tempat-tempat eksotis dan mengikuti institusi-institusi, melepaskan kesempatan untuk bermain ski, menyelam, atau bermain hoki; dan pada dokter yang secara teratur menelusuri situs-situs Web dan jurnal-jurnal yang ditujukan untuk spesialisasinya. Seperti yang ditandai Plato beberapa ratus tahun yang lalu,” Melalui pendidikan kita harus membantu siswa menemukan kesenangan pada apa yang harus mereka pelajari.”
DISIPLIN MENJADI SALAH
 Dalam membahas lima pemikiran, untuk kebanyakan bagian saya berkonsentrasi pada bagaimana menurunkan masing-masingnya. Masih saja, masih mengagumkan bagi anggota b ahwa setiap kapasitas psikologis memiliki bentuk patologisnya. Sangatlah bagus menjadi orang yang hati-hati, tidak dikehendaki menjadi obsesif kompulsif. Sangatlah bagus untuk merasakan “aliran” – tetapi seseorang seharusnya merasakan keadaan fenomenal dari tindakan-tindakan kreatif yang konstuktif dan bukan dari yang lain yang bersifat kriminal, berbahaya, atau bodoh.
  Dengan merujuk pada pemikiran yang disiplin, sejumlah catatan pencegahan seharusnya diberikan. Untuk memulainya, setiap disiplin memiliki bentuk eksesifnya sendiri: kita semua membuat lelucon mengenai pengacara-pengacara yang membawa argument-argumen legalnya ke meja dapur, lapangan basket, atau kamar tidur.Disiplin-disiplin tertentu pada akhirnya juga bisa mendominasi percakapan dengan tidak semestinya. Lima puluh tahun yang lalu, perilaku terutama dilihat melalui sebuah lensa psikoanalisis: di saat-saat sekarang ini, psikologi evolusioner dan Teori Pilihan Rasional melatih pengaruh yang berlebihan dalam akademi dan di jalan-jalan. Individu-individu harus menyadari keterbatasan disiplin-disiplin yang dikuasai, ketika bergantung pada mereka, kapan untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Di sini memiliki lebih dari satu kemampuan disipliner merupakan sebuah keuntungan; sebagai contoh, seseorang bisa, mempertimbangkan sebuah karya seni dari sejumlah perspektif, berkisar dari estetika sampai biografi sampai komersil. Tentu saja, penting untuk tidak membaurkan perspektif-perspektif itu antara satu sama lainnya, atau tidak membangkitkan salah satu ketika hal tersebut dimanifestasikan dengan tidak tepat dalam sebuah konteks yang dihadapi.
 Apakah memungkinkan untuk didisiplinkan juga? Latar belakang sebagai seorang Jerman (dan Yahudi), saya tergoda untuk menjawab “Tidak,” jika tidak “Nein.” Saya memang yakin bahwa seseoragn dapat tertarik lebih mendalam dalam sebuah disiplin dan bahwa bahkan kedalaman yang lebih besar bisa menguntungkan bagi pekerjaan seseorang. Tetapi seseorang ingin menghindari dua resiko. Pertama-tama, sebuah disiplin seharusnya tidak didekati secara obsesif, kompulsif, demi kebaikannya sendiri. Pemahaman hukum seseorang seharusnya diperdalam karena kedalaman seperti itu menghasilkan pemahaman dan kesenangan; hanya dengan membaca setiap kasus yang dipublikasikan dan memperlihatkan pengetahuan seseorang karenanya merupakan sebuah tanda ketidakdewasaan, bukan penilaian. Dan kemudian, juga, seseorang harus tetap waspada bahwa tidak ada satupun topik yang sepenuhnya bisa dikuasai dari sebuah perspektif disipliner. Seseorang harus tetap rendah hati mengenai pengaruh yang diperoleh dari satu disiplin, atau tentu saja dari banyaknya sebuah disiplin. Metode seharusnya merupakan alat, bukan mata rantai.
Baru-baru ini, saya telah mendengar keajaiban seorang pianis muda yang memainkan piano tujuh, delapan, atau bahkan lebih lama dalam sehari. Terkadang mereka membujuk untuk melakukannya karena orang tua atau pengajar-pengajar yang terlalu ambisius; terkadang, dengan luar biasa, mereka ingin mempertahankan sebuah cara hidup seperti itu dengan sendirinya. Dalam sebuah periode waktu singkat, penyerapan seperti itu dapat disesuaikan, dan mungkin tidak berbahaya. Tetapi rutinitas yang memperbudak menyatakan sebuah kekurangan jarak pada apa yang bisa dan tidak bisa diperoleh perbudakan, dan apakah kemungkinan resiko jangka panjangnya.
 Satu pianis paling besar adalah Artur Rubinstein (yang secara bertahap menginggriskan namanya menjadi Arthur). Sebagai seorang pemuda, Rubinstein merupakan seorang yang ajaib, seperti kebanyakan orang yang ajaib, dia bekerja sangat keras pada keahliannya. Setelah dia telah dikenal dunia – disambut dimanapun dia berada – dia bertahan untuk bekerja pada pekerjaannya dengan keteraturan dan ketekunan yang cukup. Sebuah pemeriksaan diri yang terbuka mendatangkan sebuah gambaran yang menyedihkan.
 Saya harus mengakui dengan kesedihan bahwa saya merasa tidak sangat bangga dengan diri saya sendiri. Saya mengarah pada penghamburan hidup, keasyikan konstan saya dengan lawan jenis, jam-jam latihan yang dihabiskan semalam dengan teman-teman intelektual saya, teater-teater, pertunjukan-pertunjukan, banyaknya makanan-makanan di saat makan siang dan makan malam, dan yang paling buruk ketertarikan kegairahan untuk semua ini tidak pernah membuat saya bisa berkonsentrasi pada pekerjaan saya. Saya menyiapkan konser-konser saya menggunakan pengulangan besar yang telah saya akumulasikan tetapi tanpa desakkan untuk bermain lebih baik, tanpa merujuk pada teks, bergantung seluruhnya pada ingatan saya yang baik dan saya dengan pintar memperoleh pengetahuan mengenai bagaimana untuk menggunakan nyanyian tertentu untku membangkitkan pemirsa pada puncak antusiasme yang tepat. Meletakkannya dalam sebuah kulit kacang, saya tidak seharusnya membesarkan sebuah potongan ketika saya memainkan keseluruhannya dengan sepenuhnya melihat teks dan tanpa beberapa dukungan teknis…..Saya tahu bahwa saya dilahirkan menjadi sebuah musisi yang sesungguhnya tetapi melainkan mengembangkan talenta saya ketika saya hidup di bagian terbesarnya.
 Rubinstein pada akhirnya menyadari bahwa di tidak dapat hidup dalam bagian terbesar ini secara tidak tentu tanpa melengkapinya lagi. Seperti yang dikomentarinya pada seorang kenalan, “Ketika dalam sehari saya tidak berlatih, saya tahu. Jetika saya tidak berlatih selama dua hari, orkestra mengetahuinya. Dan ketika saya tidak berlatih selama tiga hari, dunia mengetahuinya.” Dan begitu dia secara bertahap melepaskan kehidupan sybarite, menetap, membentuk sebuah keluarga, dan mulai berlatih dengan keteraturan dan ketelitian yang lebih besar. Tidak seperti kebanyakan pianis, dia, mampu untuk bermain di depan umum dan pada tingkat yang lebih tinggi selama berada di usia 70 dan 80-an. Dia mewakili sebuah contoh dari seseorang yang secara utama mampu untuk menyatukan dua tujuan disiplin: penguasaan seni, dan kapasitas memperbaharui seni tersebut melalui aplikasi yang teratur selama bertahun-tahun. 
 Saya berharap telah meyakinkan anda bahwa, sementara prosesnya sulit, sebuah pemikiran yang disiplin dapat dibentuk; dan b ahwa pencapaiannya mewakili sebuah landasan yang penting, tentu saja sangat diperlukan. Kemudian, sebuah pemikiran yang disiplin itu sendiri tidak lagi mencukupi. Saat ini makin banyak ruang yang ada di antara, atau hubungan-hubungan di sepanjang, beberapa disiplin. Di masa depan, individu-individu harus belajar untuk menyatukan pengetahuan dan bagaimana memperluasnya dalam cara-cara yang baru dan tidak familiar.